Toraja
Suku Toraja adalah suku yang menetap di
pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan
sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten
Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa.[1] Mayoritas suku
Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan
animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui
kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.[2]
Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to
riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah
kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909.[3] Suku Toraja
terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual
pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri
oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.
Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di
desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia
luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama
Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an,
kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja
dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog.[4]
Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari
masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang
mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus
meningkat.[5]
Identitas
Etnis
Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara
jelas mengenai diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20.
Sebelum penjajahan Belanda dan masa pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di
daerah dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak beranggapan
sebagai kelompok yang sama. Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan di
antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan
berbagai praktik ritual di kawasan dataran tinggi Sulawesi. "Toraja"
(dari bahasa pesisir ke, yang berarti orang, dan Riaja, dataran tinggi) pertama
kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran
tinggi.[3] Akibatnya, pada awalnya "Toraja" lebih banyak memiliki
hubungan perdagangan dengan orang luar—seperti suku Bugis dan suku Makassar,
yang menghuni sebagian besar dataran rendah di Sulawesi—daripada dengan sesama
suku di dataran tinggi. Kehadiran misionaris Belanda di dataran tinggi Toraja
memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah Sa'dan Toraja, dan identitas
bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di Tana Toraja.[4] Sejak itu,
Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama—suku Bugis (kaum
mayoritas, meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang dan
pelaut), suku Mandar (pedagang dan nelayan), dan suku Toraja (petani di dataran
tinggi).
Sejarah
Dulu ada yang mengira bahwa Teluk Tonkin,
terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan, adalah tempat asal suku
Toraja.[7] Sebetulnya, orang Toraja hanya salah satu kelompok penuture bahasa
Austronesia. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi,
namun akhirnya pindah ke dataran tinggi.
Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan
kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische
Compagnie (VOC). Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi
Sulawesi tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya
memiliki sedikit lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai
khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan, terutama di
antara suku Makassar dan Bugis. Belanda melihat suku Toraja yang menganut
animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan. Pada tahun 1920-an,
misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah
kolonial Belanda.[2] Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan
perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar
wilayah Sa'dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi
dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut.[8] Pada tahun 1946, Belanda
memberikan Tana Toraja status regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai
suatu kabupaten pada tahun 1957.[2]
Misionaris Belanda yang baru datang
mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena penghapusan jalur perdagangan
yang menguntungkan Toraja.[9] Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke
dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak
ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan
para elit masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak
merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi
Kristen.[10] Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi
Kristen.[9]
Penduduk Muslim di dataran rendah menyerang
Toraja pada tahun 1930-an. Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin beraliansi
dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan perlindungan
politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis
dan Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965 setelah
kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat
pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam, yang bertujuan untuk mendirikan
sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang gerilya yang berlangsung selama 15
tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak orang Toraja berpindah ke agama
Kristen.[11]
Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden
mengharuskan seluruh penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima
agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha.[12]
Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja
berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia
harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969,
Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Keluarga
Setiap orang menjadi anggota dari keluarga
ibu dan ayahnya.[14] Anak, dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan
ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas
dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah
meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu,
ayah dan saudara kandung.
Sebelum adanya pemerintahan resmi oleh
pemerintah kabupaten Tana Toraja, masing-masing desa melakukan pemerintahannya
sendiri. Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga Toraja tidak bisa
menangani masalah mereka sendiri, beberapa desabiasanya membentuk kelompok;
kadang-kadang, bebrapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain Hubungan antara
keluarga diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan berbagi rumah leluhur (tongkonan),
secara praktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan babi dalam ritual.
Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan politik dan budaya antar
keluarga tetapi juga menempatkan masing-masing orang dalam hierarki sosial:
siapa yang menuangkan tuak, siapa yang membungkus mayat dan menyiapkan
persembahan, tempat setiap orang boleh atau tidak boleh duduk, piring apa yang
harus digunakan atau dihindari, dan bahkan potongan daging yang diperbolehkan
untuk masing-masing orang.
Kelas Sosial
Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan
keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial:
bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh
pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak
diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi
diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tingi, ini bertujuan
untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari
Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena
alasan martabat keluarga.[5]
Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai
keturunan dari surga,[16] tinggal di tongkonan, sementara rakyat jelata tinggal
di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebut banua). Budak tinggal
di gubuk kecil yang dibangun di dekat tongkonan milik tuan mereka. Rakyat
jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya melakukan
pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka. Rakyat biasa
dan budak dilarang mengadakan perayaan kematian. Meskipun didasarkan pada
kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa gerak sosial yang dapat
memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah
kekayaan.[13] Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki.
Budak dalam masyarakat Toraja merupakan
properti milik keluarga. Kadang-kadang orang Toraja menjadi budak karena
terjerat utang dan membayarnya dengan cara menjadi budak. Budak bisa dibawa
saat perang, dan perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa membeli kebebasan
mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status budak. Budak tidak
diperbolehkan memakai perunggu atau emas, makan dari piring yang sama dengan
tuan mereka, atau berhubungan seksual dengan perempuan merdeka. Hukuman bagi
pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.
Agama
Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja
adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk, atau
"jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam mitos
Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang
kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang
Matua, dewa pencipta.[17] Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas
(Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah.[9] Pada awalnya, surga dan bumi
menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan
tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi
panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia,
dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa
Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon
(dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi
pengobatan), dan lainnya.[18]
Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan
tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara
pemakaman, disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem
kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan.
Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan.
Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum
yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus
dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan
jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan.[19] Kedua ritual
tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda, orang
Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual
kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian.[10] Akibatnya, ritual
kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah
mulai jarang dilaksanakan.
Kebudayaan
Tongkonan
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja tongkon ("duduk").
Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam
kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga
diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan
leluhur mereka.[15] Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di
surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru
rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.[20]
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang
melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis
tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan
sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik
anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal
sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum
bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang
mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah
memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.
Ukiran
kayu
Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak
memiliki sistem tulisan.[21] Untuk menunjukkan kosep keagamaan dan sosial, suku
Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya Pa'ssura (atau "tulisan").
Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja.
Setiap ukiran memiliki nama khusus.
Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan,
contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan seperti kepiting dan kecebong
yang melambangkan kesuburan. Gambar kiri memperlihatkan contoh ukiran kayu Toraja,
terdiri atas 15 panel persegi. Panel tengah bawah melambangkan kerbau atau
kekayaan, sebagai harapan agar suatu keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel
tengah melambangkan simpul dan kotak, sebuah harapan agar semua keturunan
keluarga akan bahagia dan hidup dalam kedamaian, seperti barang-barang yang
tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas dan kanan atas
melambangkan hewan air, menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat dan bekerja
keras, seperti hewan yang bergerak di permukaan air. Hal Ini juga menunjukkan
adanya kebutuhan akan keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil yang baik.
Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri
umum dalam ukiran kayu Toraja (lihat desain tabel di bawah), selain itu ukiran
kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering digunakan sebagai dasar
dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri yang
teratur.[21] Ornamen Toraja dipelajari dalam ethnomatematika dengan tujuan
mengungkap struktur matematikanya meskipun suku Toraja membuat ukiran ini hanya
berdasarkan taksiran mereka sendiri.[21] Suku Toraja menggunakan bambu untuk
membuat oranamen geometris.
Upacara
pemakaman
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman
merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan
berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam
agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang
besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ratusan orang
dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang
disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain
sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan
berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang
ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan
merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu
tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru
digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak
kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat
mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman.[24] Suku Toraja percaya
bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan
sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa
penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di
bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai
upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan
kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih.
Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk
kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam
"masa tertidur". Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau
untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada
banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak
upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap
darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan
kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada
keluarga almarhum.[26]
Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat
disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing.
Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya
mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua
batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu
yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar.[27] Peti
mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut
biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.
Muasik
dan Tarian
Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa
acara, kebanyakan dalam upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan
rasa duka cita, dan untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum
karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat.
Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu
sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual terseebut disebut
Ma'badong).[6][26] Ritual tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam
upacara pemakaman.[23] Pada hari kedua pemakaman, tarian prajurit Ma'randing
ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang
pria melakukan tarian dengan pedang, prisai besar dari kulit kerbau, helm
tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma'randing mengawali
prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara
pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma'katia
sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma'akatia bertujuan
untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah
penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk
tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma'dondan.
Seperti di masyarakat agraris lainnya, suku
Toraja bernyanyi dan menari selama musim panen. Tarian Ma'bugi dilakukan untuk
merayakan Hari Pengucapan Syukur dan tarian Ma'gandangi ditampilkan ketika suku
Toraja sedang menumbuk beras[28] Ada beberapa tarian perang, misalnya tarian
Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh tarian Ma'dandan
oleh perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja menari.
Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma'bua
adalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau
dan menari di sekeliling pohon suci.
Alat musik tradisional Toraja adalah suling
bambu yang disebut Pa'suling. Suling berlubang enam ini dimainkan pada banyak
tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan, ketika alat ini dimainkan bersama
sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari panjang. Suku
Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat dari
daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah
Bahasa
Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di
Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh
masyarakat,[1] akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar
di Tana Toraja.
Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang,
Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' , dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun
bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia.[30] Pada mulanya, sifat
geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam bahasa
Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa
dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi,
yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari
keragaman dalam bahasa Toraja.Denominasi | ISO 639-3 | Populasi (pada tahun) | Dialek | ||
---|---|---|---|---|---|
Kalumpang | kli | 12,000 (1991) | Karataun, Mablei, Mangki (E'da), Bone Hau (Ta'da). | ||
Mamasa | mqj | 100,000 (1991) | Mamasa Utara, Mamasa tengah, Pattae' (Mamasa Selatan, Patta' Binuang, Binuang, Tae', Binuang-Paki-Batetanga-Anteapi) | ||
Ta'e | rob | 250,000 (1992) | Rongkong, Luwu Timur Laut, Luwu Selatan, Bua. | ||
Talondo' | tln | 500 (1986) | |||
Toala' | tlz | 30,000 (1983) | Toala', Palili'. | ||
Torajan-Sa'dan | sda | 500,000 (1990) | Makale (Tallulembangna), Rantepao (Kesu'), Toraja Barat (Toraja Barat, Mappa-Pana). | ||
Sumber: Gordon (2005).[30] |
Ciri yang menonjol dalam bahasa Toraja
adalah gagasan tentang duka cita kematian. Pentingnya upacara kematian di
Toraja telah membuat bahasa mereka dapat mengekspresikan perasaan duka cita dan
proses berkabung dalam beberapa tingkatan yang rumit.[23] Bahasa Toraja mempunyai
banyak istilah untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, dan tekanan
mental. Merupakan suatu katarsis bagi orang Toraja apabila dapat secara jelas
menunjukkan pengaruh dari peristiwa kehilangan seseorang; hal tersebut
kadang-kadang juga ditujukan untuk mengurangi penderitaan karena duka cita itu
sendiri.
Ekonomi
Sebelum masa Orde Baru, ekonomi Toraja
bergantung pada pertanian dengan adanya terasering di lereng-lereng gunung dan
bahan makanan pendukungnya adalah singkong dan jagung. Banyak waktu dan tenaga
dihabiskan suku Toraja untuk berternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan
terutama untuk upacara pengorbanan dan sebagai makanan. Satu-satunya industri
pertanian di Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja.
Dengan dimulainya Orde Baru pada tahun
1965, ekonomi Indonesia mulai berkembang dan membuka diri pada investasi asing.
Banyak perusahaan minyak dan pertambangan Multinasional membuka usaha baru di
Indonesia. Masyarakat Toraja, khususnya generasi muda, banyak yang berpindah
untuk bekerja di perusahaan asing. Mereka pergi ke Kalimantan untuk kayu dan
minyak, ke Papua untuk menambang, dan ke kota-kota di Sulawesi dan Jawa.
Perpindahan ini terjadi sampai tahun 1985.
Ekonomi Toraja secara bertahap beralih
menjadi pariwisata berawal pada tahun 1984. Antara tahun 1984 dan 1997,
masyarakat Toraja memperoleh pendapatan dengan bekerja di hotel, menjadi
pemandu wisata, atau menjual cinderamata. Timbulnya ketidakstabilan politik dan
ekonomi Indonesia pada akhir 1990-an (termasuk berbagai konflik agama di
Sulawesi) telah menyebabkan pariwisata Toraja menurun secara drastis. Toraja
lalu dkenal sebagai tempat asal dari kopi Indonesia. Kopi Arabika ini terutama
dijalankan oleh pengusaha kecil.
Ekonomi
Sebelum masa Orde Baru, ekonomi Toraja
bergantung pada pertanian dengan adanya terasering di lereng-lereng gunung dan
bahan makanan pendukungnya adalah singkong dan jagung. Banyak waktu dan tenaga
dihabiskan suku Toraja untuk berternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan
terutama untuk upacara pengorbanan dan sebagai makanan. Satu-satunya industri
pertanian di Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja.
Dengan dimulainya Orde Baru pada tahun
1965, ekonomi Indonesia mulai berkembang dan membuka diri pada investasi asing.
Banyak perusahaan minyak dan pertambangan Multinasional membuka usaha baru di
Indonesia. Masyarakat Toraja, khususnya generasi muda, banyak yang berpindah
untuk bekerja di perusahaan asing. Mereka pergi ke Kalimantan untuk kayu dan
minyak, ke Papua untuk menambang, dan ke kota-kota di Sulawesi dan Jawa.
Perpindahan ini terjadi sampai tahun 1985.
Ekonomi Toraja secara bertahap beralih
menjadi pariwisata berawal pada tahun 1984. Antara tahun 1984 dan 1997,
masyarakat Toraja memperoleh pendapatan dengan bekerja di hotel, menjadi
pemandu wisata, atau menjual cinderamata. Timbulnya ketidakstabilan politik dan
ekonomi Indonesia pada akhir 1990-an (termasuk berbagai konflik agama di
Sulawesi) telah menyebabkan pariwisata Toraja menurun secara drastis. Toraja
lalu dkenal sebagai tempat asal dari kopi Indonesia. Kopi Arabika ini terutama
dijalankan oleh pengusaha kecil.
Komersialisme
Sebelum tahun 1970-an, Toraja hampir tidak
dikenal oleh wisatawan barat. Pada tahun 1971, sekitar 50 orang Eropa
mengunjungi Tana Toraja. Pada 1972, sedikitnya 400 orang turis menghadiri
upacara pemakaman Puang dari Sangalla, bangsawan tertinggi di Tana Toraja dan
bangsawan Toraja terakhir yang berdarah murni. Peristiwa tersebut
didokumentasikan oleh National Geographic dan disiarkan di beberapa negara
Eropa. Pada 1976, sekitar 12,000 wisatawan mengunjungi Toraja dan pada 1981,
seni patung Toraja dipamerkan di banyak museum di Amerika Utara. "Tanah
raja-raja surgawi di Toraja", seperti yang tertulis di brosur pameran,
telah menarik minat dunia luar..
Pada tahun 1984, Kementerian Pariwisata
Indonesia menyatakan Kabupaten Toraja sebagai primadona Sulawesi Selatan. Tana
Toraja dipromosikan sebagai "perhentian kedua setelah Bali".
Pariwisata menjadi sangat meningkat: menjelang tahun 1985, terdapat 150.000
wisatawan asing yang mengunjungi Tana Toraja (selain 80.000 turis domestik),
dan jumlah pengunjung asing tahunan tercatat sebanyak 40.000 orang pada tahun
1989. Suvenir dijual di Rantepao, pusat kebudayaan Toraja, banyak hotel dan
restoran wisata yang dibuka, selain itu dibuat sebuah lapangan udara baru pada
tahun 1981.
Para pengembang pariwisata menjadikan
Toraja sebagai daerah petualangan yang eksotis, memiliki kekayaan budaya dan
terpencil. Wisatawan Barat dianjurkan untuk mengunjungi desa zaman batu dan
pemakaman purbakala. Toraja adalah tempat bagi wisatawan yang telah mengunjungi
Bali dan ingin melihat pulau-pulau lain yang liar dan "belum
tersentuh". Tetapi suku Toraja merasa bahwa tongkonan dan berbagai ritual
Toraja lainnya telah dijadikan sarana mengeruk keuntungan, dan mengeluh bahwa
hal tersebut terlalu dikomersilkan. Hal ini berakibat pada beberapa bentrokan
antara masyarakat Toraja dan pengembang pariwisata, yang dianggap sebagai orang
luar oleh suku Toraja.
Bentrokan antara para pemimpin lokal Toraja
dan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (sebagai pengembang wisata) terjadi
pada tahun 1985. Pemerintah menjadikan 18 desa Toraja dan tempat pemakaman
tradisional sebagai "objek wisata". Akibatnya, beberapa pembatasan
diterapkan pada daerah-daerah tersebut, misalnya orang Toraja dilarang mengubah
tongkonan dan tempat pemakaman mereka. Hal tersebut ditentang oleh beberapa
pemuka masyarakat Toraja, karena mereka merasa bahwa ritual dan tradisi mereka
telah ditentukan oleh pihak luar. Akibatnya, pada tahun 1987 desa Kete Kesu dan
beberapa desa lainnya yang ditunjuk sebagai "objek wisata" menutup
pintu mereka dari wisatawan. Namun penutupan ini hanya berlangsung beberapa
hari saja karena penduduk desa merasa sulit bertahan hidup tanpa pendapatan
dari penjualan suvenir.
Pariwisata juga turut mengubah masyarakat
Toraja. Dahulu terdapat sebuah ritual yang memungkinkan rakyat biasa untuk
menikahi bangsawan (Puang), dan dengan demikian anak mereka akan mendapatkan
gelar bangsawan. Namun, citra masyarakat Toraja yang diciptakan untuk para
wisatawan telah mengikis hirarki tradisionalnya yang ketat, sehingga status
kehormatan tidak lagi dipandang seperti sebelumnya. Banyak laki-laki biasa
dapat saja menyatakan diri dan anak-anak mereka sebagai bangsawan, dengan cara
memperoleh kekayaan yang cukup lalu menikahi perempuan bangsawan.
Sumber: Wikipedia,Google.com,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar